Kalimat kunci yang menjadi ruh dan semangat dari revolusi
atau reformasi perpajakan (PSPN) ini adalah, suatu paket undang-undang
perpajakan yang sederhana, yang mudah difahami dan dilaksanakan sendiri oleh
rakyat secara bertanggungjawab demi keberlangsungan kehidupan berbangsa dan
bernegara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berasaskan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945. Itulah ruh, semangat dan esensi sekaligus maksud dan
tujuan utama dari PSPN.
Dengan maksud dan tujuan utama seperti itu untuk pertama kalinya setelah 40 (empat puluh) tahun merdeka, Indonesia memiliki 5 (lima) undang-undang dengan 156 (seratus lima
puluh enam) pasal dan 9 (sembilan) jenis tarif, menggantikan sistem lama yang
terdiri dari 13 (tiga belas) undang-undang dengan 573 (lima ratus tujuh puluh tiga) pasal dan
puluhan ribu aturan pelaksanaan serta 270 tarif. Kita bisa bayangkan, betapa
rumit bahkan ruwet sistem lama tersebut, sehingga wajar bila pada akhirnya
rakyat Wajib Pajak menyerah atau memilih berkolusi saja dengan fiskus atau
aparat pajak.
Garis besar dari sistem baru yang membedakannya dengan
sistem lama adalah sebagai berikut:
1. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(UUKUP).
Perbedaan filosifis antara sistem lama dan baru, dituangkan
dalam UUKUP yang memuat sistem dan mekanisme serta cara pandang terhadap Wajib
Pajak (WP). WP tidak lagi menjadi obyek, melainkan subyek yang harus dibina dan
diarahkan agar mau dan mampu memenuhi kewajiban perpajakannya sebagai
pelaksanaan kewajiban bernegara. Di segi tuntutan masyarakat terhadap perlunya fiskus
yang mampu dan bersih dituangkan dalam berbagai ketentuan yang bersifat
pengawasan dalam undang-undang ini.
Dalam melaksanakan kewajibannya, WP memiliki hak sepenuhnya
untuk melakukan sendiri atau menunjuk pihak yang dipercayainya. Tugas
administrasi perpajakan tidak lagi seperti dalam sistem lama, yang menitikberatkan
kegiatannya pada tugas dan menetapkan
semua Surat Pemberitahuan guna
menentukan jumlah pajak yang harus dibayar. UUKUP menentukan tugas administrasi
perpajakan sebagai pengendali aktif adminstrasi pemungutan yang meliputi pembinaan,
penelitian, pengawasan dan penerapan sanksi administrasi.
2. Pajak Penghasilan
(UUPPh).
Pajak Penghasilan (PPh) yang baru, dikenakan baik kepada
perorangan maupun perusahaan. PPh ini menggantikan empat undang-undang lama yang rumit dan berbelit-belit, yang
masing-masing berkaitan dengan perorangan, perseroan, bunga, dividen, royalty
serta pajak pemotongan.
Istilah penghasilan dalam sistem baru mempunyai arti luas,
termasuk di dalamnya arti pertambahan kekayaan. Segala bentuk penghasilan untuk
tiap tingkat dikenakan dengan tarif yang sama. Hal ini berarti penyederhanaan
terhadap praktek perpajakan lama yang mengenakan bermacam-macam pajak
penghasilan dengan tarif yang berbeda-beda atau sama sekali tidak dikenakan.
Jika sistem lama memiliki 66 jenis tarif dengan tarif terendah 2,5% dan
tertinggi 50%, UUPPh tahun 1983 hanya
terdiri dari tiga tingkatan tarif, yaitu 15%, 25% dan 35%.
UUPPh menggariskan dengan jelas jenis-jenis penghasilan
yang dikenakan dan yang tidak dikenakan pajak, penghasilan yang pengenaan
pajaknya ditangguhkan, pajak yang ditanggung pemerintah serta batas penghasilan
yang tidak kena pajak.
Sistem lama memberikan perangsang perpajakan bagi dunia
usaha, misalkan masa bebas pajak, namun diberikan tidak secara merata dan
seragam. Sedangkan dalam sistem baru, insentif seperti itu diganti dengan daya
tarik umum yang sederhana berupa tarif pajak yang lebih rendah untuk segala
tingkat perusahaan, serta sejumlah insentif lain yaitu pajak atas tunjangan dan
biaya umum perusahaan, penyusutan, indeksasi, kerugian kumulatif dan potongan
atas bunga.
3. Pajak Pertambahan
Nilai (PPN)
Inilah jenis pajak yang oleh Menteri Keuangan Radius
Prawiro disebut sebagai mesin uang. Istilah itu juga ia sampaikan kepada DPR
tatkala mengajukan RUU PPN. Mengenang proses pemilihan dan penyusunan PPN ini, Radius
menyatakan, agar pajak-pajak dapat mengkompensasi kehilangan pendapatan minyak,
Indonesia
perlu memiliki sumber penghasilan pajak yang lebih banyak dari sekedar pajak
penghasilan. Para perencana ekonomi Indonesia memilih PPN. Pajak ini
memang terbukti menjadi sokoguru dari sistem perpajakan Indonesia. Keberhasilannya melampaui
ramalan dan harapan.
Di Indonesia, tulis Radius selanjutnya, PPN diberlakukan
untuk semua barang yang diproduksi maupun yang diimpor, serta jasa-jasa
konstruksi. Pajak ini tidak berlaku untuk tembakau, serta hasil pertanian
lainnya, karena memelihara tanaman atau ternak tidak dianggap sebagai
manufaktur. Kecuali itu, tidak ada pembebasan-pembebasan lainnya. Yang paling
penting di Indonesia,
tidak seperti di negara-negara lain, hanya ada satu tarif yang dipakai untuk
PPN ini, 10 persen, dan tidak berlaku untuk tingkat eceran. Oleh karena itu,
“tidak dapat dilihat” oleh para konsumen. Hal ini membuatnya menjadi pajak yang
jarang dipertengkarkan. Lagi pula tidak seperti pajak penjualan, PPN ini bukan
merupakan pajak bertingkat. PPN menggantikan pajak penjualan dalam sistem lama
yang rumit sehingga tidak dapat dilaksanakan.
Dengan berlakunya satu tarif saja dan penerapan yang
universal, kekuatan terbesar dari PPN Indonesia terletak pada kesederhanaannya.
Walaupun Indonesia
menerima inspirasi ini dari negara Eropa, menurut Radius, pendekatan Eropa
sangat rumit karena diberlakukan bukan saja untuk barang tapi juga untuk jasa
dengan tarif yang berbeda-beda.
Kekuatan kedua dari PPN Indonesia terletak pada cara pengumpulannya. Sebuah perusahaan
yang membayar PPN pada saat membeli barang, akan memperolehnya kembali saat
mereka menjual produknya yang mengandung
barang yang PPN –nya sudah dibayar. Sebagai contoh klasik, bila seorang tukang
roti menjual rotinya kepada serentetan pasar swalayan, ia membayar PPN pada
saat membeli bahan-bahannya, dan memperoleh kembali ketika menjual produknya.
Menarik PPN adalah demi kepentingan perusahaan itu sendiri
karena PPN yang telah dibayar hanya dapat dikompensasikan bila PPN berikutnya telah
diperoleh. Agar tidak mengurangi gairah untuk ekspor, PPN dapat diperoleh
kembali terhadap produk ekspor yang PPN-nya sudah dibayar. Demikian catatan
seorang tokoh utama yang menghantarkan kelahiran PPN Indonesia.
Jenis pajak ini disebut Pajak Pertambahan Nilai karena
dikenakan atas pertambahan nilai dari barang dan jasa yang dihasilkan atau
diserahkan oleh pengusaha kena pajak, apakah ia fabrikan, importir, agen utama
atau pemborong bangunan. Pajak ini memang berkali-kali dipungut, yakni pada
setiap tingkat, tapi yang dikenakan PPN hanya atas pertambahan nilainya saja.
Artinya, jumlah pajak yang harus dibayar oleh pengusaha kena pajak adalah
selisih jumlah pajak yang harus dipungut oleh
pengusaha ketika menjual hasil produksinya dengan jumlah pajak yang sudah
dibayar sewaktu membeli bahan baku
termasuk barang modal. Yang jelas, PPN dibebankan pada pundak pembeli,
dibebankan kepada masyarakat luas tanpa dirasakan sebagai beban oleh masyarakat
itu sendiri.
4. Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah.
Di dalam UUPPN, terdapat dua jenis pajak. Yang pertama yaitu
PPN, sedangkan yang kedua adalah Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (Ppn BM).
Ppn BM sesungguhnya adalah hasil kompromi atau mengakomodasi usulan beberapa anggota DPR.
Ppn BM dipungut satu kali pada sumbernya yaitu pada tingkat
pabrikan atau pada waktu impor. Atas barang mewah, selain dikenakan PPN juga
dikenakan Pajak Penjualan sebagai upaya nyata untuk menegakkan keadilan dalam
pembebanan pajak, yang sekaligus merupakan upaya mengurangi pola konsumsi
tinggi yang tidak produktif di masyarakat.
Ada
dua tarif yang diterapkan untuk pajak ini yaitu 10% bagi barang-barang seperti
peralatan rumahtangga dan minuman yang
mengandung karbon, dam 20% untuk beberapa macam barang termasuk mobil sedan dan
kapal terbang pribadi. Namun dengan
Peraturan Pemerintah, besaran tarif tersebut dapat diubah menjadi
setinggi-tingginya 35%.
5. Pajak Bumi dan
Bangunan (UU PBB).
Sesungguhnya inilah jenis pajak yang paling peka, yang pada
zaman penjajahan Belanda mudah menjadi pemicu pemberontakan petani. UU PBB
dibuat untuk menggantikan beberapa pajak pemilikan pada sistem lama yaitu: (1).
Ordonansi Pajak Rumah Tangga tahun 1908 (Personels Belasting Ordonnantie 1908);
(2). Ordonansi Verponding Indonesia
1923 (Inlandsche Verponding Ordonnantie 1923); (3). Ordonansi Verponding tahun
1928 (Verpondings Ordonnantie 1928); (4). Ordonansi Pajak Kekayaan 1932 (Ordonnantie
op de Vermogens Belasting 1932); (5). Ordonansi Pajak Jalanan tahun 1942
(Weggeld Ordonnantie 1942).
Sebelum UU PBB dikeluarkan, berdasarkan Hukum Adat, tanah
dikenakan pajak menurut Undang-Undang nomor 11 tahun 1959, sedangkan
berdasarkan Hukum Belanda dikenakan pajak menurut Ordonansi Verponding
Indonesia tahun 1923 dan Ordonansi Verponding tahun 1928. Sejalan dengan pajak
tanah, bangunan dikenakan pajak sesuai Ordonansi Pajak Rumah Tangga tahun 1908
serta beberapa pungutan dalam hal tanah dan bangunan misalnya Iuran
Rehabilitasi Daerah (IREDA) dan
lain-lain.
Nampak jelas sekali bahwa sistem lama itu saling tumpang
tindih dan sudah tidak sesuai lagi dengan situasi sosial ekonomi masyarakat.
Sementara itu pajak kekayaan, dalam prakteknya juga sulit dilaksanakan, karena
bagaimana mungkin kita sungguh-sungguh bisa mengetahui harta benda seseorang,
misalkan jumlah dan jenis perhiasan emasnya.
Pajak yang hasil pengumpulannya diserahkan kepada Pemerintah
Daerah ini, lebih dimaksudkan untuk dikenakan terhadap pemilik-pemilik tanah
bangunan yang kaya serta pengembang
perumahan kota
atau properti komersial. Tetapi agar pajak ini mudah dipahami masyarakat luas,
maka dibuat sederhana. Bangunan yang nilainya kurang dari Rp.2 juta,-
dibebaskan dari pembayaran. Sedangkan
pengenaannya hanya ditetapkan sebesar 0,5% atas seperlima (20%) dari nilai
tanah dan bangunan yang diperkirakan. Besaran rumus tarif tersebut ditetapkan
semata-mata berdasarkan alasan psikologis serta hasil perundingan yang alot dengan
DPR. Bagi Pemerintah, yang terpenting UU
ini dapat diterima dan dilaksanakan, dan oleh karena itu tidak mengapa
ditetapkan dengan tarif yang rendah. Berdasarkan tarif itu diperkirakan hasil
pajak yang diperuntukkan bagi Pemerintah Daerah tadi, tidak akan lebih kecil
dari hasil pemungutan pajak-pajak dari sistem lama yang digantikan.
Karena PBB merupakan pajak kebendaan, UU juga memberikan
peluang untuk memperoleh keringanan bagi pemilik yang secara ekonomis memang
tidak mampu, misalkan para pensiunan atau pemilik-pemilik yang tertimpa bencana
alam dan sejenisnya.
6. Bea Meterai.
Undang-Undang nomor 13 tahun 1985 tentang Bea Meterai (UU
BM) menggantikan Aturan Bea Meterai tahun 1921 yang sudah ketinggalan zaman.
Aturan yang sudah berusia 64 tahun tersebut sudah beberapa kali diubah dan
ditambah, namun jiwa dan falsafahnya tidak berubah, pasal-pasalnya tidak sesuai
dengan sasaran yang diharapkan dan isinya pun tidak sesuai dengan keperluan
serta perkembangan keadaan, bahkan sulit dimengerti dan dilaksanakan.
UU BM terdiri hanya 18 pasal, jauh lebih sederhana
dibanding yang lama yang terdiri dari 137 pasal. Bea Meterai dikenakan terhadap
dokumen-dokumen yang biasa digunakan oleh umum dalam soal-soal yang bertalian
atau pun yang memerlukan penguatan hukum, seperti surat perjanjian, pernyataan
akte notaris berserta masing-masing duplikatnya, kertas penerimaan uang,
pernyataan status keuangan, posisi keuangan di bank dan lain-lain.
UU BM hanya mengenal dua tarif tetap yang pada saat
diundangkan pada tanggal 27 Desember 1985 (mulai berlaku 1 Januari 1986),
ditetapkan sebesar Rp.500,- dan Rp.1.000,- Di samping dikenakan pada saat
penandatanganan dokumen atau tanda pembayaran, pembayaran bea meterai juga bisa
dilakukan belakangan, yang dikenal dengan istilah pemeteraian kemudian yang
dilakukan oleh pejabat kantor pos Pemerintah.
Dokumen-dokumen yang mendapat pemeteraian kemudian adalah:
(1)
dokumen yang semula belum atau tidak dibubuhi
meterai, tetapi karena kemudian digunakan sebagai alat pembuktian di
pengadilan. Untuk jenis dokumen seperti ini tidak dikenakan denda.
(2)
Dokumen yang seharusnya dibubuhi meterai tetapi
bea meterainya tidak atau kurang dilunasi, dikenakan bea sebesar jumlah yang
tidak atau kurang terlunasi, ditambah denda administrasi sebesar 200% dari bea
meterai yang tidak atau kurang dibayar.
(3)
Dokumen yang dibuat di luar negeri yang akan
digunakan di Indonesia, dikenakan bea meterai sebesar yang seharusnya dilunasi tanpa denda. Namun
bila bea meterai dokumen tersebut baru dilunasi sesudah dokumen tersebut
digunakan, maka pemeteraian kemudian dilakukan denda 200%.
Dengan melihat aturan-aturan yang seperti di atas, nampak
bahwa UU Bea Meterai ini merupakan undang-undang yang unik. Saya masih teringat
jelas pada suatu malam tatkala
mendampingi pak Radius dan pak Salamun melakukan lobby-lobby pembahasan RUU,
pak Salamun menyatakan, undang-undang ini sesungguhnya sepenuhnya ditujukan
untuk memenuhi rasa puas masyarakat. Karena bukankah dengan pembubuhan tandatangan,
lebih-lebih pada umumnya untuk perusahaan atau lembaga masih ditambah lagi
dengan cap atau stempel, itu sudah lebih dari cukup? Tapi ya mengingat
masyarakat masih belum akan puas jika tidak diberi meterai, ya Pemerintah
mengakomodasi saja. Masyarakat puas, Pemerintah memperoleh tambahan penerimaan.
Luar biasa.