https://bukusahabatwiwoho.wordpress.com/2015/10/30/memori-jenderal-yoga-kilas-balik-berbagai-peristiwa-nasional/
WAWANCARA & PELIPUTAN LEBIH 8 TAHUN.
Kami tidak tahu persis, apakah ada wawancara dan peliputan tokoh
dengan metode partisipasi yang lebih lama dari yang pernah kami lakukan,
yakni lebih dari 8 (delapan) tahun? Delapan tahun lebih itulah yang
kami perlukan untuk menyusun buku MEMORI JENDERAL YOGA. Semua kami
lakukan sendiri, B.Wiwoho dan Banjar Chaeruddin, dengan tenaga, daya
upaya dan biaya sendiri masing-masing pula, termasuk tatkala harus
menyertai perjalanan Pak Yoga, demikian kami biasa memanggil, baik di
dalam maupun ke luar negeri. Tidak juga melibatkan protokol BAKIN (Badan
Koordinasi Intelijen Negara), kecuali dalam pembuatan paspor yang
memperoleh kode-kode tertentu sehingga sangat memudahkan urusan
imigrasi.
Maka apabila Pak Yoga ada acara atau mau bepergian, beliau hanya
mengatakan “besok hari H tanggal T jam J dengan pesawat P, saya akan
pergi ke Tokyo (misalkan) selama sekian hari, menginap di Hotel H.”
Pemberitahuan itu berarti sebuah ajakan dan selanjutnya kami harus bisa
menyesuaikan diri. Kadang satu pesawat dan satu hotel, kadang kala juga
beda pesawat dan beda hotel namun berdekatan.
Pada periode tahun 1980an, pengaruh Pak Yoga dan BAKIN luar biasa
besar. Kalau mau, kami bisa dengan mudah dan cepat mencari sponsor untuk
membiaya perjalanan kami. Namun demikian kami sangat menjaga
kerahasiaan acara dan perjalanan-perjalanan tersebut. Bersyukur kami
selalu mampu mengatasi sendiri, termasuk merahasikan acara yang
sebenarnya dari kepergian kami, termasuk kepada isteri.
Kami juga sangat bersyukur, pak Yoga cukup terbuka baik dalam acara,
kegiatan maupun pembicaraan-pembicaraan dengan tamu atau pun staf. Tak
jarang kami diijinkan ikutserta. Seandainya semua peristiwa itu terjadi
di era telpon genggam seperti sekarang, barangkali akan sangat banyak
foto-foto selfi kami. Semua itu berkat kepercayaan yang antara lain kami
peroleh setelah kami berhasil menulis dan menerbitkan operasi
pembebasan pembajakan pesawat Garuda “Woyla”, yang kemudian kami beri
nama dan menjadi judul buku “OPERASI WOYLA”, terbit Oktober 1981.
Mengapa menulis dan menerbitkan buku seperti itu saja bisa
menumbuhkan kepercayaan yang besar dari Kepala Badan Intelijen Negara
dan juga Jenderal Berbintang Empat? Bisa saja orang memiliki banyak
tafsir atas buku tersebut, namun satu hal sebagaimana testimoni tulisan
tangan Pak Yogya yang juga kami sajikan di blog bukusahabatwiwoho,
antara lain sebagai berikut:
“terima kasih sebesar2nya kpd sdr
Wiwoho. Yg secara berani dan obyektif mengungkapkan suatu “mysterie” yg
oleh berapa fihak selalu dicoba utk ditutupi…..”
Senada dengan testimoni Pak Yoga, Pak Ali Moertopo juga memberikan
testimoni dihadapan Pitut Suharto, Abdul Kadir dan B.Wiwoho pada tanggal
20 September 1983, yang kemudian kami muat di Harian Angkatan
Bersenjata (lupa tanggalnya) dan di buku Memori Jenderal Yoga ini,
antara lain:
“ saya rasa Pak Harto sukar meninggalkan Pak Yoga dalam
penugasan-penugasan negara. Dan juga tidak mungkin ada fitnah lagi.
Saya tahu orang-orang yang memfitnah. Saya tahu berapa kali Pak Yoga
difitnah. Belakangan sih ada, mulai lagi, umpamanya pada sekitar tahun
79 – 80, yaitu sesudah pembentukan kabinet. Sampai Pak Yoga ke Hankam
itu pun sudah difitnah. Tapi mungkin karena Pak Yoga sudah
berpengalaman, Pak Harto sudah berpengalaman, Pak Harto sudah lebih
mengenal Pak Yoga, dan Pak Yoga sudah tidak begitu emosional, sudah
mampu menyesuaikan, maka tidak terjadi hal-hal yang jelek. Yang lebih
jelek, karena sebetulnya saat itu sudah jelek sekali. Tapi karena Pak
Harto sudah ndak bisa dibohongi, ya sudah. Waktu mengenai Woyla mau
dicoba lagi. Saya pikir, suruh orang-orang itu baca buku Operasi Woyla
saja. Betul nggak? Waktu Woyla, pejabat mana yang berani secara
voluntary, secara sukarela menawarkan diri menjalankan tugas. Coba
menawarkan diri. Padahal risikonya besar sekali. Lebih besar dibanding
lucknya.” (halaman 40-41).
Memahami posisi Pak Yoga yang seperti itu, sebagai anak buah, sahabat
sekaligus salah satu pilar termuda dari Tritunggal Jawa Tengah sampai
Orde Baru (Soeharto – Yoga Sugomo – Ali Moertopo), Pak Ali yang pada
tahun 1982 menjabat sebagai Menteri Penerangan, menugaskan kepada Dewan
Film Nasional untuk menuangkan Operasi Woyla ke dalam film layar lebar.
Belum sampai film tersebut selesai dibuat, pada Maret 1983 Pak Ali
lengser dari jabatan Menteri Penerangan. Seraya itu, berhenti pula
pembuatan film Operasi Woyla.
Loyalitas, setiakawan dan rasa hormat Pak Ali kepada Pak Harto dan
Pak Yoga sangat besar. B.Wiwoho pernah mengalami gangguan hubungan yang
cukup parah dengan Pak Ali antara tahun 1980 – 1981, sampai hampir semua
aktivitas ditutup. Sungguh dalam situasi seperti itu, sahabat yang
tetap menjalin komunikasi dengan baik dan terus membantu B.Wiwoho adalah
Pak Yoga, Tjokropranolo, Amran Zamzami, Probosutejo, Syarnubi Said, Kol
Sudarto, Brigjen FX.Surojo, Harmoko dan Zulharman. Tatkala B.Wiwoho
sudah tidak tahan lagi, kemudian mengadulah kepada Pak Yoga, yang
langsung menelpon dan menegur Pak Ali. Secara spontan pula Pak Ali
meminta maaf dan di lain hari menugasi Pak Harmoko menemui B.Wiwoho
meminta untuk melupakan semua hubungan buruk masa lalu dan menawarkan
memberikan Surat IjinTerbit suratkabar atau majalah berikut segala
perlengkapan dan modalnya. Tawaran tersebut secara halus dan dengan
sepenuh terima kasih kami tolak.
Loyalitas Pak Ali kepada Pak Yoga juga diungkapkan kepada kami
bertiga (Pitut Suharto, Abdul Kadir dan B.Wiwoho), yang diminta untuk
melakukan suatu operasi penggalangan, demi mengingatkan janji setiakawan
Tri Tunggal:Soeharto – Yoga Sugomo – Ali Moertopo, terutama Soeharto –
Yoga, yang menurut Pak Ali, terpisah tapi berjalan bersama atau
berhimpitan (halaman 27 – 28). Namun permintaan ini tidak kami
laksanakan karena Pak Yoga sendiri tidak setuju.
“Biarlah semua
mengalir bagaikan air kehidupan. Saya ini kan wayang, biarlah Sang
Dalang Yang Maha Agung yang menugasi apa peran saya. Tak berani saya
memohon hadiah dan peran tertentu,” katanya.
PERANAN BAKIN DALAM PENGANGKATAN PEJABAT TINGGI.
Tatkala menjabat kembali sebagai Kepala BAKIN segera sesudah
peristiwa Malari Januari 1974, hubungan Pak Yoga dengan Presiden
Soeharto berlangsung sangat intens, hampir rutin bertemu setiap Jumat
malam di kediaman pak Harto di Jalan Cendana no.8. Dalam pertemuan
tersebut dibahas evaluasi keadaan selama seminggu terakhir dan langkah
serta kebijakan apa yang harus diambil oleh Pemerintah khususnya
Presiden Soeharto pada minggu depan dan selanjutnya.
Dalam pertemuan biasanya Pak Yoga membawa berkas setebal sekitar 4
(empat) halaman kertas kuarto dengan sejumlah lampiran bila dianggap
perlu. Pak Yoga akan bicara terbuka apa adanya tentang sesuatu masalah,
namun demikian sebagaimana orang Jawa, ia sangat memegang
“unggah-ungguh” dan menghormati senior apalagi pimpinan. Karena itu
masalah-masalah yang sangat peka, terutama bila menyinggung keluarga,
dikemukakan dengan menggambarkan perkiraan ancaman, kemudian solusinya
dengan tanpa mempermalukan keluarga. Sudah barang tentu, itu semua
memerlukan kerja keras staf yang harus mempersiapkan berkas laporan
dalam susunan kalimat dan bukti-bukti pendukung yang kuat, yang bisa
diterima Pak Harto tanpa membuat marah dan menyinggung perasaan.
Kepercayaan Presiden Soeharto kepada BAKIN termasuk Operasi Khusus
(Opsus)-nya semenjak awal Orde Baru sangat besar. Tidak ada pengangkatan
pejabat tinggi setingkat Menteri dan Gubernur, yang tidak melalui
penyaringan atau paling sedikit pengecekan oleh BAKIN terlebih dulu.
Tulisan mengenai ini, kami muat dalam link:
http://bwiwoho.blogspot.co.id/2012/05/mengenang-14-tahun-reformasi-cara.html dengan judul
“Cara Presiden Soeharto Merekrut Para Menterinya,” yang kemudian juga diterbitkan dalam buku
“ 34 Wartawan Istana Bicara Tentang Pak Harto.”
Tulisan tersebut mendapat perhatian besar dari media masa baik cetak,
elektronik maupun online, sehingga banyak dikutip seperti antara lain
yang kami sarikan untuk dimuat di blog
http://bwiwoho.blogspot.com sebagai berikut:
“Senin, 01 April 2013
PRESIDEN SOEHARTO MEREKRUT PEMBANTUNYA TANPA HIRUK PIKUK.
BIOGRAFI SOEHARTO
Pemimpin Harus Tegas dan Berani Memutuskan
Menjadi pemimpin apa pun, kita harus selalu tegas dan berani
mengambil keputusan. Kalau ingin maju, harus pandai mendengar, melihat,
dan mengambil hikmahnya”.Demikian alinea pertama dari laporan Harian
Kompas mengenai buku “34 Wartawan Istana Bicara Tentang Pak Harto”,
Sabtu 30 Maret 2013 halaman 2, yang juga bisa diakses melalui Kompas.com.
Tulisan itu merangkum ciri-ciri kepemimpinan Pak Harto, yang ada di
buku tersebut. Mantan wartawan Suara Karya, Bambang Wiwoho dalam kutipan
tersebut menulis, bagaimana Soeharto merekrut pembantunya tanpa hiruk
pikuk berlarut-larut. Soeharto menugaskan pimpinan Operasi Khusus/Kepala
Badan Koordinasi Intelijen Negara untuk menyelidiki hingga detail siapa
teman tidur calon pembantunya itu, siapa saudara dan teman bergaulnya,
hingga bagaimana riwayat perjuangan hidupnya.”
Beberapa kali penulis menjadi saksi bagaimana Pak Yoga beserta
jajarannya memproses dan meneliti calon pejabat tinggi sesuai penugasan
Presiden. Salah satu di antaranya bahkan menjadi perantara pertemuan
antara Pak Yoga dengan Brigjen TNI (Purn) Dan Anwar, yang ikut memimpin
pasukan Siliwangi menumpas pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948. Dan
Anwar dimintai pendapat dan saran-sarannya atas pecalonan Sudharmono
menjadi Wakil Presiden RI masa bhakti 1988 – 1993.
Sebagai petinggi intelijen yang berpendidikan Akademi Milter Jepang
dan pendidikan intelijen Inggris, serta juga berpengalaman sebagai
komandan pertempuran dalam menghadapi pemberontakan bersenjata tahun
1959 – 1960. Yoga nyaris sempurna sebagai tokoh intelijen. Badannya
tegap dan kokoh, wajahnya ganteng, penembak mahir yang berani latihan
menembak kaleng permen yang diletakkan di atas kepala anak buahnya,
menguasai ilmu beladiri termasuk silat Merpati Putih, dan sebagaimana
lazimnya pemuda-pemuda Jawa, mendalami pula ilmu-ilmu kesaktian. Pada
dasa warsa tahun 1980an itu, Pak Yoga juga mempelajari tasawuf dalam
bimbingan Abah Anom dari Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya.
Sebagai perwira intelijen, ia memiliki insting dan perasaan yang
tajam. Pagi menjelang Peristiwa Berdarah Kerusuhan Kampanye Golkar di
Lapangan Banteng, Jakarta 18 Maret 1982. Ia sudah menelpon Panglima
Kodam Jaya Norman Sasono, untuk mengerahkan pasukan membuat pagar betis
dan menyekat peserta kampanye agar tidak timbul ekses negatif, terutama
bentrokan dengan masa Partai Persatuan Pembangunan yang di Jakarta
dikenal sangat militan. Permintaan itu ditolak oleh Pangdam.
Tatkala ternyata betul-betul terjadi kerusuhan yang merenggut banyak
nyawa, Yoga langsung bertindak. Ia menggelar peta Jakarta seperti Ratu
Elizabeth I dari Inggris ketika mengatur strategi perang melawan Spanyol
tahun 1588. Dengan keyakinan penuh dan wibawa yang tinggi, ia seperti
mengambil alih komando, dengan cepat ia meminta dilakukan pergerakkan
pasukan untuk mengepung dan mengamankan Istana serta kediaman Presiden
Soeharto di Cendana. Oleh sebab itu ketika memang ada sejumlah massa
liar yang menuju Cendana, maka bisa langsung dihalau mundur.
YOGA SUDAH SARANKAN PAK HARTO LENGSER TAHUN 1985.
Topik lain yang juga banyak dikutip oleh media massa dari tulisan
kami di buku tentang Pak Harto tadi adalah saran Pak Yoga kepada
Presiden Soeharto yang disampaikan pada sekitar Mei 1985 antara lain:
“Sejalan dengan bertambahnya usia, kawan seperjuangan-segenerasi Pak
Harto makin sedikit, banyak yang mendahului kepangkuan Ilahi. Bersamaan
dengan itu, pada pertengahan 1985 hubungan Pak Harto dengan pak Yoga
yang sudah berlangsung akrab semenjak tahun 1950-an, “membeku”. Jika
biasanya hampir setiap Jumat malam selama sekitar 11 tahun mereka rutin
bertemu melakukan evaluasi dan membahas perkiraan keadaan, semenjak itu
tidak lagi berlanjut. Pak Yoga yang sangat kesal dan prihatin, mengajak
saya menenangkan diri ke Jepang hampir selama 2 minggu.
Dalam suatu pertemuan rutin mingguan Pak Yoga menyampaikan
pandangannya kepada Pak Harto antara lain: (1). Pak Harto yang sudah
akan mencapai usia 67 pada Pemilihan Umum tahun 1988 dan sudah menjadi
Kepala Negara selama 22 tahun, tentu akan sampai pada tahap jenuh dan
lelah. (2) Periode kepemimpinan 1983 – 1988 menurut Pak Yoga adalah
periode puncak keemasan kepemimpinan Pak Harto, yang sesudah itu
dikuatirkan akan mulai melemah. (3). Bisnis keluarga dan
putera-puterinya yang terus membesar bisa menjadi sumber kecemburuan
sosial dan sasaran tembak. (4). Sumber dan jaringan informasi serta
rekrutmen pak Harto yang secara alamiah semakin menyempit disebabkan
kesenjangan generasi. Di lain pihak kesenjangan generasi juga akan
mengganggu komunikasi. Karena itulah pak Yoga menyarankan agar pak Harto
dengan jiwa besar legowo lengser keprabon dan tidak maju lagi dalam
masa jabatan berikutnya pada tahun 1988. Pak Harto dimohon mempersiapkan
kader peralihan generasi 45, dan siapapun kader yang ditunjuk, Pak Yoga
akan mengamankannya.
Saran pak Yoga tersebut tidak ditanggapi oleh Pak Harto dan ditolak
oleh dua orang pejabat penting lainnya melalui suatu perdebatan yang
cukup menegangkan. Sementara Pak Harto hanya diam saja tidak mengambil
sikap, Ibu Tien Suharto yang diam-diam mengamati, melintas di ruang
pertemuan seraya cenderung mendukung Pak Yoga.”
Sejumlah media massa mengutip bagian tulisan tersebut antara lain seperti link berita berikut:
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/400905-soeharto-sudah-disarankan-lengser-di-tahun-1988
Sesuai peraturan yang berlaku, pada Mei 1981 status kemiliteran Pak
Yoga adalah Purnawirawan TNI berbintang empat, karena sudah berusia 56
tahun. Kepangkatannya dengan demikian adalah pegawai bulanan golongan
IV/e sampai Juni 1989, dan mengajukan berhenti atau pensiun atas
permintaan sendiri.
Jika dikaji status kepangkatan Pak Yoga dan kekecewaannya terhadap
Pak Harto yang membuat tidak lagi rutin menghadap mingguan sebagaimana
kebiasaan selama sebelas tahun terakhir, kecuali dipanggil, nampaknya
benar apa yang dikemukan Pak Ali Moertopo tentang perjanjian setiakawan
“Tri Tunggal Soeharto – Yoga Sugomo – Ali Moertopo”. Coba kalau tidak
ada sejarah hubungan setiakawan yang baik, bagaimana mungkin dibiarkan
oleh Pak Harto selama empat tahun tanpa mau menghadap, sampai akhirnya
Pak Yoga sendiri yang meminta pensiun.
DILARANG CETAK ULANG.
Buku Memori Jenderal Yoga diluncurkan dalam acara bedah buku pada
Juli 1990, yang dihadiri oleh banyak para petinggi negeri baik sipil
maupun militer, termasuk mantan Panglima Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia (ABRI) Jenderal Benny Murdani serta Panglima ABRI Try
Sutrisno, serta Kepala BAKIN Letnan Jenderal Soedibyo. Cetakan pertama,
habis dibagi untuk sahabat-sahabat Pak Yoga, penulis serta berbagai
perpustakaan. Cetakan kedua yang dicetak bersamaan dengan cetakan
pertama tapi untuk keperluan pasar bebas habis hanya dalam tempo
beberapa bulan. Ketika cetakan ketiga siap diedarkan pada bulan April
1991, tiba-tiba pada suatu pagi kami menerima telpon berurutan pertama
dari Kepala BAKIN Letjen Soedibyo, tak lama kemudian dari Menteri
Koordinator Ekonomi Keuangan dan Industri Radius Prawiro. Keduanya
meminta agar kami menemui mereka secara bergantian. Yang pertama di
kantor BAKIN di Pejaten, sedang yang kedua di kediaman dinas di Kompleks
Menteri Widya Chandra.
Keduanya menjelaskan kepada kami bahwa “semalam” mereka berdua
bersama Menteri Sekretaris Negara Murdiono, telah dipanggil Presiden
Soeharto untuk membahas buku Memori Jenderal Yoga. Pak Radius ikut
diminta hadir karena dianggap Pak Harto memiliki hubungan dekat dengan
penulis. Ada isi buku yang oleh Pak Harto dikuatirkan bisa menjadi
contoh tidak baik bahkan dapat memicu keberanian bawahan melawan atasan,
yakni bab 4 tentang: “Jawa Tengah Menolak Pusat.” Oleh sebab itu Pak
Harto meminta agar peredarannya dihentikan. Pertemuan yang berlangsung
masing-masing lebih dari 3 (tiga) jam itu membahas secara hati-hati dan
mencari jalan keluar yang baik yang tidak memancing kemarahan Pak Yoga.
Kepada keduanya kami paparkan betapa tidak serasinya hubungan Pak
Yoga dengan Pak Harto dan beberapa pejabat tinggi lainnya semenjak
pertemuan rutin Jumat malam di bulan Mei 1985. Hanya kearifan dan suka
duka bersama yang panjanglah yang membuat hubungan buruk tadi tidak
menyeruak keluar. Tatkala buku sedang dicetak, Pak Yoga juga sudah
mengkuatirkan kemungkinan Pak Harto tidak berkenan. Dan jika itu
terjadi, Pak Yoga akan melakukan perlawanan keras.
Akhirnya disepakati agar Pak Yoga tidak perlu tahu masalah ini,
sedangkan cetakan ketiga adalah cetakan terakhir, sampai waktu yang
belum bisa dipastikan. Selain itu kami juga tidak akan mempromosikan
atau pun mempublikasikan buku ini. Kelak jika suatu saat Pak Yoga
menanyakan kenapa tidak dicetak ulang lagi, sebaiknya dijawab pasar
sudah jenuh.
Demikianlah sedikit catatan tambahan untuk Memori Jenderal Yoga. Semoga ada manfaat dan berkah-Nya. Aamiin. ( https://bukusahabatwiwoho.wordpress.com/2015/10/30/memori-jenderal-yoga-kilas-balik-berbagai-peristiwa-nasional/
Diterbitkan oleh
Buku Sahabat Wiwoho
Tanpa terasa telah puluhan buku kami terbitkan, baik yang kami tulis
sendiri - bersama sejumlah sahabat - tulisan sahabat mengenai kami atau
sekedar sambutan ataupun gagasan penulisannya. Blog ini menampilkan
serba-serbi tentang buku tersebut, terutama yang berada dalam
perpustakaan pribadi kami. Demi menambah wawasan, kami juga akan
mengusahakan untuk menyajikan buku-buku penulis lain khususnya dari para
sahabat. Buku-buku pada umumnya diprakarsai dan diterbitkan oleh
Yayasan Bina Pembangunan, Penerbit Bina Rena Pariwara dan National
Development Information Office (NDIO).
Buku-buku lama kami pada umumnya sudah tidak ada di toko buku dan belum
dicetak ulang kembali. Bagi yang berminat lebih jauh bisa mendatangi
Perpustakaan Nasional yang menyimpan semua buku cetakan, atau mencari
informasi di google dengan mengetik kemudian klik : judul buku dan nama
pengarang. Semoga berkenan. Salam takzim. B.Wiwoho.
Tampilkan semua pos berdasarkan Buku Sahabat Wiwoho