Perekonomian
 nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip
 kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan 
lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan 
kesatuan ekonomi nasional
(UUD 1945 Pasal 33 ayat 4 Perubahan keempat tahun 2002)
AGUSTUS
 2008, bangsa Indonesia merayakan ulang tahun kemerdekaan yang ke-63. 
Tatkala para elite bangsa tengah menyelenggarakan rangkaian demi 
rangkaian perayaan ulang tahun, beberapa media massa menyentakkan kita 
dengan menyampaikan sejumlah fakta misalkan, Kompas, Senin 11 Agustus 
2008: “Penyakit Tropis Tidak Teratasi. Jumlah Penderita Tak Kunjung 
Turun.” Penyakit-penyakit rakyat itu antara lain adalah kaki gajah, 
kusta dan malaria. Penyakit ini berkembang dan menyebar karena buruknya 
lingkungan dan sanitasi, serta kemiskinan.
Minggu, 17 Agustus 2008, koran Seputar Indonesia menyajikan “Indonesia Dalam Percaturan Global,” yaitu:
1.
 Peringkat Indeks Pembangunan Manusia berada di posisi 108, sementara 
negara-negara Asia lainnya seperti Jepang (7), Hongkong (22), Singapura 
(25), Korea Selatan (26) dan Brunei (34).
2. Peringkat Infrastruktur 
berada di posisi 91, sementara negara-negara Asia lainnya seperti 
Singapura (3), Hongkong (5), Jepang (9), Korea Selatan (16), Malaysia 
(23) dan Thailand (27).
3. Peringkat Daya Saing berada di posisi 54, 
sementara negara-negara Asia seperti Singapura (7), Jepang (8), Korea 
Selatan (11), Hongkong (12), Malaysia (21), Thailand (28).
4. 
Peringkat Tempat Berbisnis berada di posisi 123, sementara negara 
tetangga kita Singapura (1), Selandia Baru (2), Hongkong (4), Australia 
(9)
5. Peringkat Indeks Persepsi Korupsi diposisi 145, sementara Singapura (4), Hongkong (14), Jepang (17), Malaysia (43).
Korupsi
 bersama belasan indikator instabilitas politik, ekonomi, militer dan 
sosial lainnya sebagai alat ukur, juga telah menempatkan Indonesia pada 
peringkat ke-55 dari Indeks (60) Negara Gagal 2007. Kedudukan Indonesia 
menurut Foreign Policy, yang diterbitkan Amerika Serikat berada di 
kelompok 41-60, memprihatinkan sekali, satu kelompok dengan sejumlah 
negara yang namanya jarang kita dengar antara lain Guinea, Ekuatorial, 
Kirgistan, Turkmenistan, Eritrea dan Moldova.
Fakta-fakta 
tersebut tidak boleh kita tutup-tutupi, dan juga tidak perlu membuat 
kita terjebak dalam pesimisme, tetapi sebaiknya harus kita syukuri 
karena Gusti Allah telah menganugerahkan hidayah dengan membukakan 
pengetahuan, pemahaman dan kesadaran kita, betapa buruk keadaan kita, 
dan oleh karena itu kita harus menjadikan kesadaran itu sebagai ideologi
 pembebasan, yang dengan ridho, berkah dan rahmat-Nya, dapat membebaskan
 rakyat Indonesia dari berbagai belenggu keterbelakangan tersebut. Kita 
harus mengobarkan semangat keberanian dan optimisme rakyat untuk bangkit
 menjadikan Indonesia Raya sebagai negara makmur sejahtera, karena 
sesungguhnya kita memiliki potensi baik sumber daya alam, sumber daya 
manusia maupun segala hal yang diperlukan untuk itu.
Hal utama 
dari ideologi pembebasan itu adalah perang melawan korupsi, yang harus 
dikobarkan dan didukung oleh seluruh patriot bangsa, bak perang melawan 
penjajah yang menindas dan memiskinkan rakyat, yang merusak serta 
mengeksploitasi sumber daya alam kita, yang dengan berbagai dalih telah 
menyalahgunakan amanah rakyat, mempermainkan segala urusan dan 
kepentingan rakyat. Mengapa? Karena korupsi merupakan akar atau penyebab
 utama kemiskinan dan keterbelakangan, bahkan kerusakan negara 
sebagaimana fakta-fakta yang diungkapkan oleh berbagai media massa 
selama ini.
Dalam sejarah peradaban manusia, ideologi pembebasan 
telah mampu mengobarkan “perang pembebasan” melawan rezim-rezim penindas
 yang mapan, zalim dan atau yang menjungkirbalikkan akhidah ketuhanan.
Kanjeng
 Nabi Ibrahim, sebagai Bapak dari “agama-agama langit”, telah 
mengobarkan perang pembebasan melawan kekuasaan Raja Namrud, dan bahkan 
ayah kandungnya, dengan menghancurkan berhala-berhala sesembahan mereka.
Kanjeng
 Nabi Musa menyulut api revolusi terhadap struktur politik dan agama 
sekaligus, melawan kekuasan tirani Fir’aun yang zalim dan mengaku 
sebagai Tuhan.
Baginda Rasul, Kanjeng Nabi Muhammad, menyulut api
 revolusi dan perjuangan spiritual keagamaan dalam suatu tatanan 
masyarakat yang secara sosial politik dan ekonomi termasuk mapan pada 
zamannya.
Di era modern, Nelson Mandela telah mencatat sejarah 
yang gemilang dalam melawan rezim Afrika Selatan yang rasialis, 
diskriminatif dan kejam. Di Venezuela, Hugo Chavez pada tahun 1999, dan 
di Bolivia, Evo Morales tahun 2006, mulai mematahkan belenggu 
cengkeraman neo liberal dan kapitalisme global.
Proklamator kita,
 Bung Karno dan Bung Hatta, bahkan bukan hanya mengobarkan perang 
kemerdekaan Indonesia, tetapi juga semangat kemerdekaan bangsa-bangsa 
Asia – Afrika lainnya. Dengan ideologi pembebasan yang bercirikan 
sosialisme, keduanya bersama kekuatan rakyat berhasil mengusir 
penjajahan dari bumi Nusantara.
Sejarah juga mengajarkan kepada 
kita, perang pembebasan akan berhasil secara gemilang bila ideologi 
pembebasan yang ada didukung oleh dua hal penting, yaitu tokoh 
pengggerak dan sekelompok orang yang terpanggil.
Di masa lalu, 
tokoh penggerak itu biasanya adalah tokoh kharismatik yang menghayati 
penderitaan bangsanya, yang peduli dan rela berkorban demi kebebasan 
umat atau bangsanya dari penindasan rezim penguasa yang zalim, atau pun 
peradaban dan akhidah yang salah. Tidak jarang tokoh tadi terpaksa harus
 mengalami penderitaan panjang, dihukum, menjadi buronan atau diusir 
dari tanah kelahirannya yang justru mengobarkan simpati rakyat, dan di 
kemudian hari menjadikan-nya tokoh kharismatik yang dipuja dan dikagumi 
sebagaimana halnya para nabi dan juga Mahatma Gandhi dari India.
Mulai
 dari lingkungan terdekat dan kecil, sang tokoh kemudian didukung oleh 
kawan-kawan seperjuangan, yaitu orang-orang yang terpanggil yang pada 
umumnya berasal dari kalangan intelektual, ksatria dan generasi muda.
Baginda
 Rasul misalnya, didukung oleh para intelektual seperti Abu Bakar dan 
Usman bin Affan, generasi muda seperti Ali bin Abu Thalib, Hamzah sang 
pemburu yang handal serta Umar bin Khattab yang gagah berani.
Di 
era global dengan kekuatan teknologi informasi seperti sekarang, tokoh 
kharismatik mungkin bisa digantikan dengan tim manajemen serta sistem 
dan pengorganisasian yang baik. Namun ideologi pembebasan tampaknya 
tetap diperlukan, dan harus dicirikan oleh kepentingan bersama yang 
kuat, yang bisa dijadikan doktrin filosofis yang mampu menggugah 
kebangkitan para patriot, khususnya kaum intelektual dan generasi muda, 
dan akhirnya kekuatan massa sehingga bergerak menjadi kekuatan politik 
yang dahsyat.
Dalam tulisan sebelumnya telah saya kutipkan 
pernyataan amat keras Baginda (sayiddina) Ali yang akan membunuh 
kemiskinan seandainya ia berbentuk manusia. Kata miskin di dalam 
Al-Qur’an disebut sebanyak 25 kali, sedangkan sebuah kata lain yang 
terkait erat dengan kata miskin yaitu fakir, disebut 12 kali.
Para
 ahli fiqih dan ahli tafsir memiliki beberapa pandangan tentang kata 
fakir, namun ada benang merah diantara pandangan-pandangan tersebut 
yaitu yang menyatakan sebagai orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan 
primer atau kebutuhan pokoknya (ENSIKLOPEDI HUKUM ISLAM, Penerbit PT 
Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1996). Terhadap pengertian yang seperti
 itu ada sebuah hadis yang sangat populer yang menyatakan bahwa 
kefakiran itu dekat dengan kekufuran atau kekafiran.
Namun ada 
pula makna fakir yang lain, yang biasa digunakan untuk membahasakan diri
 sendiri dari para penganut tarekat dan jalan sufi, yaitu orang yang 
senantiasa merasa membutuhkan bimbingan dan pertolongan Tuhan, sehingga 
oleh sebab itu tidak boleh sombong.
Demikianlah, fakir miskin 
dalam satu makna adalah orang yang hidup berkekurangan, yang secara 
Islami harus memperoleh perhatian besar, yang harus disantuni dan 
dibantu melalui berbagai daya upaya antara lain dengan zakat, infaq dan 
sedekah.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Pasal 34 
Undang-undang Dasar (UUD) 1945 yang asli menyatakan, “Fakir miskin dan 
anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.” Begitu pula dalam 
Amandemen Keempat (tahun 2002) Undang-undang Dasar 1945, masalah 
kesejahteraan sosial bagi rakyat khususnya fakir miskin dan kaum lemah 
ditegaskan kembali dalam Pasal 34 yang berbunyi sebagai berikut :
(1) Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.
(2)
 Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan 
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan 
martabat kemanusiaan.
(3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
Bagaimana
 kenyataannya? Karena korupsi, penyalah-gunaan wewenang dan salah urus, 
maka di negara yang kaya raya, nagoro panjang apunjung pasir wukir gemah
 ripah loh jinawi ini, kita tidak mampu memelihara fakir miskin, tidak 
mampu mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat, tidak 
mampu memberdayakan masyarakat lemah, tidak mampu menyediakan fasilitas 
pelayanan kesehatan dan pelayanan umum yang layak. Dan yang jauh lebih 
memprihatinkan lagi, generasi muda tidak memiliki gambaran dan harapan 
masa depan yang baik.
UUD juga menyatakan, bumi dan air dan 
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan 
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 33 ayat 3),
 sementara itu, perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas 
demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, 
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga 
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional (Pasal 33 ayat 4).
Apa
 yang terjadi? Karena tekanan kapitalisme global, para elite membuat 
beberapa Undang-Undang (UU) dan kebijakan yang bertentangan dengan 
pasal-pasal di atas, bahkan menyerahkan begitu saja tanah air (bumi dan 
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya) pada cengkeraman neo liberal 
dan kapitalisme global serta takluk pada mekanisme pasar bebas.
UU
 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, UU 20/2002 tentang Kelistrikan, UU
 19/2003 tentang BUMN, UU 7/2004 tentang Sumber Daya Air dan UU 25/2007 
tentang Penanaman Modal serta berbagai peraturan lainnya misalkan 
penambangan di hutan lindung, telah menyebabkan perusakan dan 
eksploitasi besar-besaran untuk kepentingan kekuatan modal semata-mata, 
sehingga mengakibatkan gunung kita yang berfungsi sebagai paku bumi 
digempur, laut diaduk, pulau dikeduk, hutan dibabat, air tanah disedot 
tiada terkira. Sungguh perusakan lingkungan yang luar biasa dan 
perekonomian yang tidak berkeadilan, tidak berkelanjutan, tidak seimbang
 dan tidak mandiri dan sekaligus benar-benar menjual tanah (bahan 
galian/tambang) air secara obral. (Pada Sidang Paripurna DPR yang 
kontroversial misalnya, UU Sumber Daya Air disahkan. Pimpinan sidang 
waktu itu, AM Fatwa, mengetuk palu tanda sah tanpa mengindahkan 
interupsi anggota. Sidang yang riuh diselingi listrik mati menjelang 
pengesahan menjadi tanda tanya hingga sekarang. Kesengajaan atau 
kebetulan? (Kompas, Jumat 12 September 2008).
Tak pelak lagi, 
cengkeraman kapitalisme global dan neo liberal bersama para 
kolaboratornya telah menempatkan Indonesia kembali dalam belenggu 
penjajahan gaya baru, yang jauh lebih kejam dan serakah dibanding 
penjajahan Belanda di masa lalu, ditambah wabah korupsi yang merajalela,
 telah memunculkan kecenderungan kehidupan rakyat yang sangat 
memprihatinkan, yang jika tidak segera dihentikan maka akan dapat 
menyebabkan kehidupan rakyat bagaikan “ayam mati di lumbung padi”.
Mereka
 sedang membunuh pelan-pelan rakyat Indonesia. Mereka menikmati dan 
berpesta pora di atas penderitaan demi penderitaan kita. Mereka menguasi
 sumberdaya kita, menginfiltrasi dan kemudian menguasai produk-produk 
hukum serta perundang-undangan kita, membuat daya saing dan peringkat 
tempat berbisnis di Indonesia menjadi lemah, dan selanjutnya 
memperbodoh, membuat kita miskin, lemah lagi berpenyakitan. Ini adalah 
kemungkaran dan kezaliman yang terstruktur yang wajib diperangi.
Demikianlah,
 dengan tetap menjunjung tinggi prinsip kerjasama dan hubungan 
internasional yang baik dan sederajat, ideologi pembebasan yang 
merupakan api semangat perang pembebasan tahun 2008 ini adalah cita-cita
 dan semangat yang mampu mengobarkan perang untuk membebaskan rakyat 
dari perampokan dan penindasan oleh para koruptor, neo liberal dan 
kapitalisme global beserta para kompradornya. Sudah barang tentu, perang
 ini tidak harus berupa perang fisik bersenjata api, tetapi perang 
ideologi dan semangat serta tekad kuat untuk melakukan perubahan tata 
kehidupan, mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, yang 
membebaskan rakyat dari belenggu keterbelakangan, dari kemiskinan dan 
kebodohan; tata kehidupan yang mampu mewujudkan harapan kehidupan yang 
baik bagi masa depan generasi muda, yang berkeadilan di segala bidang 
dan bebas dari dominasi serta penjajahan neo liberal dan kapitalisme 
global.
Tata kehidupan seperti itu adalah tata kehidupan 
berbang-sa dan bernegara yang pro rakyat, yang berdiri di atas 
prinsip-prinsip kemandirian, keadilan dan kesejahteraan rakyat, yang 
dikelola dengan memberdayakan dan melibatkan peranserta seluruh 
masyarakat secara musyawarah dan mufakat.
Elit-elit bangsa yang 
terpanggil, sejalan dengan itu juga harus dapat mengubah sisi buruk 
budaya sebagian masyarakat kita yang dikenal sebagai soft culture, 
lembek, nrimo, tidak berani mengungkapkan kata hatinya, suka nggerundel,
 ngedumel di belakang, dan jika tidak tahan memilih mutung dan pada 
akhirnya ngamuk atau marah tak terkendali (amuk massa).
Semoga 
Gusti Allah menganugerahkan kepada kita Indonesia Raya, putra-putri 
bangsanya yang terpanggil untuk berjuang melancarkan perang kemerdekaan 
II, yaitu Perang Pembebasan 2008 yang memproklamasikan dan mewujudkan 
Indonesia Raya yang aman tenteram, adil makmur, sejahtera dan jaya. 
Amiin.
* (Dikutip dari buku “ Pengembaraan Batin Orang Jawa di Lorong Kehidupan oleh B. Wiwoho)